Saturday, March 25, 2017

SELIMUT TURKI

Seorang lelaki tua, pakaian lusuhnya menampakkan jelas kefakiran yang dialaminya. Ia memasuki sebuah kedai mewah untuk membeli selimut.

Dia memerlukan 6 helai selimut untuk keluarganya di musim sejuk ini. Tapi wang yang ia miliki hanyalah 100 riyal.

Kata pakcik itu "wahai tuan, adakah tuan menjual 6 helai selimut yang berharga 100 riyal?".

Pemilik kedai berkata: "Oh ada pakcik, saya ada selimut bagus buatan Turki, harganya juga murah, hanya 20 riyal sehelai. Kalau pakcik beli 5 buah akan mendapat percuma 1 helai."

Lega... Terpancar kegembiraan di wajah lelaki tua itu. Segera ia menghulurkan lembaran wang 100 riyal miliknya. Dengan wajah berseri sambil membawa selimut ia berlalu pergi.

Teman si pedagang yang sejak tadi duduk memperhatikan ini berkata:

"Engkau ini aneh sekali, bukankah kelmarin engkau mengatakan selimut itu jenis selimut termahal di tokomu ini, kalau tidak salah kelmarin engkau menawarkan nya kepadaku seharga 350 riyal sehelainya ?"

Pedagang itu menjawab:

"Benar sekali, kelmarin aku menjual kepadamu 350 riyal tidak kurang sedikitpun.

Kelmarin aku berdagang dengan manusia. Hari ini aku berdagang dengan ALLAH.

Aku ingin keluarga lelaki tua tadi dapat terhindar dari kedinginan di musim sejuk yang akan datang tidak lama lagi.

Aku berharap ALLAH menghindarkanku dan keluargaku dari panasnya api neraka di akhirat nanti.

Demi ALLAH, kalaulah tidak karena menjaga harga diri lelaki tua tadi, aku tidak ingin menerima darinya wang sedikitpun.

Aku tidak ingin ia merasa menerima sedekah sehingga merasa malu di hadapan kita di sini."

***

Saudaraku, sesungguhnya untuk bermuamalah yang benar kepada ALLAH, memerlukan seni dan akhlak yang tinggi.

Semoga kita boleh mencontoh akhlak dari pedagang tersebut.

Semoga Bermanfaat...

Jadikan inspirasi hidup kita untuk menggapai kebahagiaan di negeri akhirat yang kekal abadi.

Dari Abu Hurairah dia berkata;
Rasulullah SAW telah bersabda:

_"Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari Kiamat_

_Barang siapa memberi kemudahan kepada orang lain yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kepadanya kemudahan di dunia dan di akhirat."_

*(HR Muslim) Kitab Fadhilat Sedeqah.*

Monday, March 6, 2017

KISAH BALU YANG MISKIN

Suatu hari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dikunjungi seorang wanita yang ingin bertanya.

“lmam, saya adalah seorang perempuan yang sudah lama kematian suami. Saya ini sangat miskin, sehingga untuk membesarkan anak-anak saya, saya mengait benang di malam hari, sementara siang hari saya gunakan untuk mengurus anak-anak saya dan bekerja sebagai sebagai buruh kasar dikesempatan masa yg ada.

Karena saya tak mampu membeli lampu, maka pekerjaan mengait benang itu saya lakukan apabila  bulan terang.”

Imam Ahmad rahimahullah mendengar dengan serius percakapan perempuan tadi. Perasaannya tersentuh mendengar ceritanya yang menyayatkan hati.

Beliau yang memiliki kekayaan lagi dermawann sebenarnya telah tergerak hati untuk memberi bantuan sedekah kepada wanita itu, namun ia tangguhkan dahulu hasratnya karena ingin mendengar semua ucapan si ibu tadi.

Si ibu tadi meneruskan cerita katanya...“Pada suatu hari, ada satu rombongan  kerajaan telah berkemah di depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlah yang amat banyak sehingga sinarnya terang benderang. Tanpa pengetahuan mereka, saya segera mengait benang dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu itu.

Tetapi setelah selesai saya sulam, saya bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual?

Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu?

Sebab, saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan wang negara, dan tentu ianya adalah wang rakyat.”

Imam Ahmad rahimahullah terpesona dengan kemuliaan jiwa wanita itu. Ia begitu jujur, di tengah masyarakat yang rosak akhlaknya dan hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa peduli halal haram lagi. Padahal jelas, wanita ini begitu miskin lagi fakir.

Maka dengan penuh rasa ingin tahu, Imam Ahmad rahimahullah bertanya, “Ibu, sebenarnya engkau ini siapa?”

Dengan suara serak karena penderitaannya yang berkepanjangan, wanita ini mengaku, “Saya ini adik perempuan Basyar Al-Hafi.”

Imam Ahmad rahimahullah makin terkejut.  Basyar Al-Hafi rahimahullah adalah Gabenor yang terkenal sangat adil dan dihormati rakyatnya semasa hidupnya. Rupanya, jawatannya yg tinggi tidak disalahgunakannya untuk kepentingan keluarga dan kerabatnya. Sehingga adik kandungnya sendiri pun hidup dalam keadaan miskin.

Dengan menghela nafas berat, Imam Ahmad rahimahullah berkata,
“Pada masa kini, ketika orang-orang sibuk mengumpul kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan menyalahguna wang negara serta menyusahkan rakyat yang sudah miskin, ternyata masih ada wanita terhormat seperti engkau, lbu. sungguh, sehelai rambutmu yang terurai dari celahan jilbabmu jauh lebih mulia jika dibanding dengan berlapis-lapis serban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dikenakan para ulama.

Subhanallah, sungguh mulianya engkau, hasil sulaman itu engkau haramkan? Padahal bagi kami itu tidak apa-apa, sebab yang engkau lakukan itu tidak merugikan kewangan negara…”

Kemudian Imam Ahmad rahimahullah melanjutkan, “Ibu, izinkan aku memberi penghormatan untukmu. Silakan engkau meminta apa saja dariku, bahkan sebagian besar hartaku, nescaya akan kuberikan kepada wanita semulia engkau…”.

Diriwayatkan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq, dari Rasulullah, beliau bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِحَرَامٍ

“Tidak akan masuk ke dalam surga sebuah jasad yang diberi makan dengan yang haram.”
(Shahih Lighairihi, HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani dalam kitab Al-Ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan. Shahih At-Targhib 2/150 no. 1730)

NAFSU TERSEMBUNYI

Panjang sedikit kisahnya, namun ambillah iktibarnya...

Beberapa pakar sejarah Islam meriwayatkan sebuah kisah menarik, kisah Imam Ahmad bin Miskin, seorang ulama abad ke-3  dari kota Basrah, Iraq.

Beliau bercerita:
Aku pernah diuji dengan kemiskinan pada tahun 219 Hijriyah.
Saat itu, aku sama sekali tidak memiliki apapun, sementara aku harus menafkahi seorang isteri dan seorang anak.

Lilitan hebat rasa lapar terbiasa mengiringi hari-hari kami.
Maka aku bertekad untuk menjual rumah dan pindah ke tempat lain. Akupun berjalan mencari orang yang bersedia membeli rumahku.

Bertemulah aku dengan sahabatku Abu Nashr dan kuceritakan keadaanku. Lantas, dia malah memberiku 2 lembar roti isi manisan dan berkata: “Berikan makanan ini kepada keluargamu.”

Di tengah perjalanan pulang,
aku berselisihan dengan seorang wanita faqir bersama anaknya. Tatapannya jatuh di kedua lembar rotiku.

Dengan nada yang sayu dia memohon:
“Wahai Tuan, anak yatim ini belum makan, tak terdaya terlalu lama menahan rasa lapar yang melilit diri.
Tolong beri dia sesuatu yang boleh dia makan.

Semoga Allah Ta'ala merahmati Tuan.”
Sementara itu, si anak menatapku tekun dengan tatapan yang takkan kulupakan sepanjang hayat.

Tatapan matanya menghanyutkan fikiranku dalam khayalan ukhrawi, seolah-olah syurga turun ke bumi, menawarkan dirinya kepada siapapun yang ingin meminangnya, dengan mahar mengenyangkan anak yatim miskin dan ibunya ini.

Tanpa ragu sedetikpun, kuserahkan semua yang ada ditanganku. “Ambillah, beri dia makan”, kataku pada si ibu.

Demi Allah, padahal waktu itu tak sesen pun dinar atau dirham kumiliki. Sementara di rumah, keluargaku sangat memerlukan makanan itu.

Spontan, si ibu tak dapat membendung air matanya(menangis) dan si kecilpun tersenyum indah bak purnama.

Kutinggalkan mereka berdua dan kulanjutkan langkah kakiku,
sementara beban hidup terus bergelutan dipikiranku.

Sejenak, kusandarkan tubuh ini di sebuah dinding, sambil terus memikirkan rencanaku menjual rumah.
Dalam posisi seperti itu, tiba-tiba Abu Nashr dengan kegirangan mendatangiku.
“Hei, Abu Muhammad...!
Kenapa kau duduk duduk di sini sementara limpahan harta sedang memenuhi rumahmu?”, tanyanya.

"Masyaallah....!”,  jawabku terkejut.
“Dari mana datangnya?”
“Tadi ada lelaki datang dari Khurasan.
Dia bertanya-tanya tentang ayahmu atau siapapun yang punya hubungan kerabat dengannya.

Dia membawa berduyun-duyun kenderaan barang penuh berisi harta,” ujarnya.
“Jadi?”, tanyaku kehairanan.
“Dia itu dahulu saudagar kaya di Basrah ini. Kawan ayahmu,dulu ayahmu pernah memberikan kepadanya harta yang telah
ia kumpulkan selama 30 tahun.

Lantas dia rugi besar dan bangkrap.
Semua hartanya musnah, termasuk harta ayahmu.Lalu dia lari meninggalkan kota ini menuju Khurasan.
Di sana, keadaan ekonominya beransur-ansur baik.

Bisnesnya meningkat jaya.
Kesulitan hidupnya perlahan-lahan pergi,
berganti dengan limpahan kekayaan.

Lantas dia kembali ke kota ini, ingin meminta maaf dan memohon keikhlasan ayahmu atau keluarganya atas kesalahannya yang lalu.

Maka sekarang, dia datang membawa seluruh harta hasil keuntungan niaganya yang telah dia kumpulkan selama 30 tahun berniaga dan ingin berikan semuanya kepadamu,
berharap ayahmu dan keluarganya berkenan memaafkannya.”

Ahmad bin Miskin melanjutkan ceritanya:
“Kalimah puji dan syukur kepada Allah Ta'ala  meluncur dari lisanku.
Sebagai bentuk syukur.

Segera kucari wanita faqir dan anaknya tadi.
Aku menyantuni dan menanggung hidup mereka seumur hidup.
Aku pun terjun di dunia perniagaan seraya menyibukkan diri dengan kegiatan sosial, sedekah, santunan dan berbagai bentuk amal solih.

Adapun hartaku, terus bertambah melimpah ruah tanpa berkurang.
Tanpa sedar, aku merasa TAKJUB dengan amal solihku.

Aku MERASA, telah MENGUKIR lembaran catatan malaikat dengan hiasan AMAL KEBAIKAN.

Ada semacam HARAPAN PASTI dalam diri, bahawa namaku mungkin telah TERTULIS di sisi Allah Ta'ala dalam daftar orang orang SOLIH.

Suatu malam, aku tidur dan bermimpi.
Aku lihat, diriku tengah berhadapan dengan hari kiamat.
Aku juga lihat, manusia bagaikan berombak lautan.

Aku juga lihat, badan mereka membesar.
Dosa-dosa pada hari itu berwujud dan berupa, dan setiap orang memikul dosa-dosa itu masing-masing di punggungnya.

Bahkan aku melihat, ada seorang pendosa yang memikul di punggungnya beban besar seukuran kota Basrah,
isinya hanyalah dosa-dosa dan hal-hal yang menghinakan.

Kemudian, timbangan amal pun ditegakkan, dan tiba giliranku untuk perhitungan amal.

Seluruh amal burukku diletakkan di salah satu sisi timbangan,
sedangkan amal baikku di sisi timbangan yang lain.

Ternyata, amal burukku jauh lebih berat daripada amal baikku..!
Tapi ternyata, perhitungan belum selesai.
Mereka mulai meletakkn satu persatu berbagai jenis amal baik yang pernah kulakukan.

Namun alangkah ruginya aku.
Ternyata dibalik semua amal itu terdapat "NAFSU TERSEMBUNYI".

Nafsu tersembunyi itu adalah riya', ingin dipuji, merasa bangga dengan amal solih.
Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, ternyata tidak ada satupun amalku yang terlepas dari nafsu-nafsu itu. Aku putus asa.

Aku yakin aku akan binasa.
Aku tidak punya alasan lagi untuk selamat dari seksa neraka.

Tiba-tiba, aku mendengar suara,
“Masihkah orang ini punya amal baik?”
“Masih...”,  jawab suara lain. “Masih berbaki ini.”

Aku pun menjadi tidak tentu, amal baik apakah gerangan yang masih berbaki?
Aku berusaha melihatnya.

Ternyata, itu HANYALAH dua LEMBAR ROTI isi manisan yang pernah kusedekahkan kepada wanita fakir dan anaknya.

Habis sudah harapanku...

Sekarang aku benar benar yakin akan binasa sebinasanya.
Bagaimana mungkin dua lembar roti ini menyelamatkanku,
sedangkan dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah dan itu tidak berguna sedikit pun.
Aku merasa benar-benar tertipu habis-habisan.

Segera 2 lembar roti itu diletakkan di timbanganku.
Tak kusangka, ternyata timbangan kebaikanku bergerak
turun sedikit demi sedikit, dan terus bergerak turun sehingga lebih berat sedikit dibandingkan timbangan keburukkanku.
Tak sampai disitu, tenyata masih ada lagi amal baikku.

Iaitu berupa AIR MATA wanita faqir itu yang mengalir saat aku berikan sedekah.
Air mata tak terbendung yang mengalir kala tersentuh akan kebaikanku. Aku, yang kala itu lebih mementingkan dia dan anaknya dibanding keluargaku.

Sungguh tak terbayang, saat air mata itu diletakkan, ternyata timbangan baikku semakin turun dan terus memberat.
Hingga akhirnya aku mendengar suatu suara berkata,
“Orang ini selamat dari seksa neraka

Masih adakah terselit dalam hati kita nafsu ingin dilihat hebat oleh orang lain pada ibadah dan amal-amal kita???

Payahnya IKHLAS😭😭

Allahuakbar!!! Aku bermohon kehadrat Allah Tuhan Pemilik Hari Pembalasan agar diriku, keturunanku juga sahabat²ku semua dijauhkan dari sifat dan juga amal dari Nafsu Yang Tersembunyi.

Sumber tazkirah telah dipetik dari kitab"KISAH TAULADAN"
"Ar-Rafi’i dalam  Qalam (2/153-160)".

Semoga sama sama kita beroleh manfaat.

Sunday, March 5, 2017

Kisah pendek Garisan Pendek

Seorang Guru membuat garis sepanjang 10 cm di atas papan tulis, lalu berkata : "Anak2, cuba pendekkan garisan ini!"

Murid pertama maju ke depan, ia memadam 2 cm dr garis itu, skrg menjadi 8 cm. Guru mempersilakan anak murid ke 2. Iapun melakukan hal yg sama, 'sekarang' garisnya tinggal 6 cm. Anak murid ke 3 & ke 4 pun maju kedepan, skrg garis itu tinggal 2 cm.

Terakhir, anak yg Bijak maju kedepan, ia membuat garis yg lebih panjang, sejajar dgn garis pertama, yg tinggal 2 cm itu.

Guru menepuk bahunya,

"Kau memang bijak. Utk membuat garis itu menjadi pendek, tak perlu menghapusnya - cukup membuat satu garis yg lebih panjang. Garis pertama akan menjadi lebih pendek dgn sendirinya."

***

Pengajaran:
Utk memenangkan diri tak perlu mengecilkan yg lain, Tak usah memburukkan yg lain, kerana secara tak langsung, menceritakan keburukan yg lain adalah  secara tak jujurnya, memuji diri sendiri. Cukup lakukan yg terbaik seikhlasnya utk semua, biarkan waktu membuktikan kebaikan tersebut. Buat sehabis baik kerana Allah SWT bukan kerana manusia.
                                                                                                                                      Semoga berbahagia semuanya.

SI BAHLUL DAN GURU SUFI

Pada zaman pemerintahan Kerajaan Bani Abbasiyah terdapat seorang ulama' sufi bernama Sheikh Junaid Al- Baghdadi yang tersohor dengan ketinggian ilmunya. Selain menjadi pelopor kepada ilmu tasawuf Islam, beliau juga dikenali sebagai seorang pedagang yang berjaya di jazirah Arab.

Suatu ketika, Sheikh Junaid telah berangkat ke kota Baghdad bersama dengan para pengikutnya atas urusan perniagaan. Sebaik urusannya selesai, Sheikh Junaid telah bertanya tentang seorang lelaki dan berniat untuk menemui lelaki tersebut.

"Kenalkah kamu lelaki bernama Bahlul di kota Baghdad ini?" tanya ulama' tersebut kepada anak muridnya. Mereka menjawab, “Ya, dia seorang yang gila. Apakah yang tuan perlukan daripadanya?"

"Cari lelaki itu kerana ada sesuatu yang aku perlukan daripadanya." kata Sheikh Junaid.

Tanpa banyak bicara, murid-murid Sheikh Junaid segera mencari lelaki bernama Bahlul itu di segenap kota Baghdad dan akhirnya menemui beliau di dalam sebuah pondok usang di gurun yang agak terpencil.

Keadaan Bahlul dilihat tidak terurus. Pakaiannya compang camping dan rambutnya kusut masai. Memang sah, itulah lelaki yang dicari oleh guru mereka. Murid-murid Sheikh Junaid pun bergegas pulang ke kota Baghdad dan membawa guru mereka untuk bertemu dengan lelaki tersebut.

Ketika Sheikh Junaid mendekati Bahlul, dia melihat Bahlul sedang gelisah sambil menyandarkan kepalanya ke tembok batu.

Sheikh Junaid memberi salam kepadanya dan beliau menjawab seraya bertanya semula, "Siapakah engkau?"

"Aku Junaid Al-Baghdadi." jawab ulama' sufi itu.

"Apakah engkau Abul Qasim (nama sebenar Sheikh Junaid? Al-Baghdadi) Apakah engkau Sheikh Baghdadi yang sering mengajak manusia ke arah jalan kebaikan dan mencintai akhirat?" tanya Bahlul.

"Ya!" Jawab Sheikh Junaid.

"Apakah engkau tahu cara makan?" tanya Bahlul sekali lagi.

Lalu Sheikh Junaid menjawab, “Aku mengucapkan Bismillah. Aku makan yang ada di hadapan ku, aku menggigitnya sedikit, meletakkan di sisi kanan dalam mulutku dan perlahan mengunyahnya. Aku mengingati Allah sambil makan. Apa pun yang aku makan, aku ucapkan alhamdulillah. Aku cuci tangan sebelum dan sesudah makan."

Bahlul berdiri, menyebakkan pakaiannya dan berkata, "Kau ingin menjadi guru yang dihormati di dunia tetapi kau tidak tahu pun cara makan!"

Sambil berkata demikian, Bahlul berlalu pergi. Salah seorang murid Sheikh Junaid berkata, "Wahai tuan, dia adalah orang gila."

"Ya, dia adalah orang gila yang bijak dan cerdas.Dengarkan kebenaran daripadanya", jawab Sheikh Junaid. Dia kemudian mendekati Bahlul sekali lagi.

"Siapakah engkau?" tanya Bahlul.

"Sheikh Baghdadi yang tidak tahu cara makan, " jawab Sheikh Junaid.

"Engkau tidak tahu cara makan tetapi adakah kau tahu cara berbicara?" tanya Bahlul.

"Ya", jawabnya. "Aku berbicara tidak kurang dan tidak lebih dan aku tidak terlampau banyak berbicara. Aku berbicara supaya pendengar mudah memahami. Aku tidak berbicara terlampau banyak supaya orang ramai tidak mudah bosan. Aku mengajak manusia ke jalan *ALLAH* dan Rasul," kata Sheikh Junaid."

"Lupakan sahaja tentang makan kerana kau juga tidak tahu tentang bagaimana cara untuk berbicara." kata Bahlul. Dia berdiri dan berlalu pergi.

Anak murid Sheikh Junaid berkata, "Wahai tuan, anda lihat sendiri dia adalah seorang yang gila. Apa yang tuan harapkan daripada orang gila seperti nya?"

"Ada sesuatu yang aku perlukan daripadanya yang kamu tidak tahu", jawab Sheikh Junaid. Dia kemudian bangun dan mendekati Bahlul semula.

"Apakah yang kau mahu lagi daripada ku? Kau tidak tahu cara makan dan berbicara, adakah kau tahu cara tidur?" tanya Bahlul sebaik Sheikh Junaid mendekatinya.

"Ya, aku tahu. Selepas solat Isyak, aku mengenakan pakaian tidur, aku berwuduk, berdoa dan.." jawab Sheikh Junaid menerangkan adab-adab tidur sebagaimana lazimnya diajarkan oleh para ulama'.

"Sudah, ternyata kau juga tidak tahu bagaimana cara tidur," kata Bahlul dengan tegas sambil bingkas bangun.

Tetapi kali ini Sheikh Junaid menahannya. "Wahai Bahlul, aku tidak tahu, kerana *ALLAH*, maka ajarkanlah aku", pinta Sheikh Junaid kepada Bahlul.

Bahlul menjawab, "Sebelum ini kau mengatakan bahawa kau tahu maka aku menghindari mu. Sekarang setelah kau mengaku engkau tidak tahu, maka aku akan mengajar kamu cara makan, berbicara dan tidur."

"Ketahuilah bahawa kebenaran yang ada disebalik makanan ialah makanan yang halal. Jika engkau memakan makanan yang haram dengan seribu adab sekalipun ianya tidak akan memberi manfaat melainkan menyebabkan hati mu menjadi hitam."

Kebenaran yang ada di sebalik bicara ialah hati harus bersih sebelum berbicara dan percakapan kamu hendaklah menyenangkan Yang Maha Pencipta terlebih dahulu daripada yang mendengar. Sekiranya bicara mu hanya untuk urusan duniawi yang sia-sia dan tidak menjurus kepada *ALLAH* SWT maka ia akan mendatangkan malapetaka. Sebab itu diam adalah lebih baik daripada berkata-kata."

"Kebenaran yang ada di sebalik tidur adalah hati mu perlu bebas daripada sifat permusuhan dan kebencian sebelum tidur. Hati mu tidak boleh tamak akan kekayaan dunia. Maka ingatlah *ALLAH SWT* ketika kamu tidur", kata Bahlul kepada Sheikh Junaid.

Kata-kata itu membuatkan Sheikh Junaid Al-Baghdadi tersenyum. Ya, itulah jawapan yang diperlukan daripada lelaki yang dikatakan oleh masyarakat sebagai orang gila itu.

Sheikh Junaid kemudian menghulurkan salam dan mencium tangan Bahlul, lantas berdoa untuk kesejahteraannya.

Siapa sebenarnya lelaki yang dikatakan gila bernama Bahlul itu?

Bahlul atau namanya yang sebenar, Wahab bin Amr dilahirkan di Kuffah, Iraq merupakan keluarga Diraja. Beliau adalah sepupu kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid. Ketika hayatnya Bahlul dikenali sebagai ilmuan Islam dan pernah menjawat jawatan Hakim kerajaan Bani Abassiyah.

Namun Bahlul telah meninggalkan segala kekayaan dan kemewahan hidupnya untuk hidup sederhana. Disebabkan kerana itu, dia diberi julukan Bahlul oleh penduduk setempat.

Bahlul sebenarnya tidak gila, tetapi dia berpewatakan sebegitu bagi menyembunyikan kebijaksanaannya daripada diketahui oleh orang lain.

Itulah dia kisah seorang yamg arif bernama Bahlul. Pengajaran daripada kisah tersebut,

Pertama, Sheikh Junaid Al-Baghdadi sebagai seorang guru yang disegani tidak jemu untuk mencari ilmu dan sanggup mencarinya diceruk-ceruk kampung yang terpencil.

Kedua, Sheikh Junaid sebagai seorang yang arif mengetahui bahawa Bahlul bukanlah seorang gila seperti mana dikatakan oleh masyarakat malah adalah seorang yang mempunyai hikmah ilmu dan kerana itu beliau berusaha mencarinya. Jauhari juga yang mengenal manikam.

Ketiga, Sheikh Junaid walaupun seorang guru yang terkenal dan mempunyai ramai murid tidak sombong dan sabar serta merendah diri di hadapan Bahlul dan mendatangi beliau walaupun Bahlul beberapa kali menyebak pakaiannya dan pergi. Benarlah seorang yang berkehendakan ilmu itu mesti mendatangi ilmu dan bukan sebaliknya.

Keempat, seorang yang mencari ilmu mestilah lebih banyak sabar dan mendengar daripada berkata-kata dan merasakan diri tidak tahu kerana merendahkan diri di hadapan ilmu.

Kelima, ketrampilan seseorang tidak semestinya mencerminkan ilmu seseorang itu. Walaupun Bahlul tidak berpakaian hebat seperti gaya tuan guru tetapi hikmah kata-katanyanya disanjung tinggi oleh Sheikh Junaid Al-Baghdadi.

Keenam Sheikh Junaid menerangkan bab feqah tentang adab dalam melakukan sesuatu tetapi Bahlul menerangkan bab hati iaitu kunci utama di dalam sesuatu perbuatan ibadat itu. Sesungguhnya jika baik hati itu maka insha Allah baiklah segalanya. Selain daripada mengetahui tentang adab tetapi ia tidak mencukupi kerana hati yang ikhlas dan bersih diperlukan untuk mendapat keberkesanan daripada amalan tersebut.

Ketujuh, Sheikh Junaid mencium tangan Bahlul atas dasar penghormatan seorang murid yang telah diberi ilmu yang tidak ternilai. Begitulah cara orang yang beradab pada ilmu di mana peradaban seperti itu sudah berkurangan di zaman ini. Maka ilmu yang dipelajari tidak ada keberkatannya.